BREAKING NEWS

Bertiga Menggapai Atap Jawa

Pengantar Redaksi: 
Tahun 2007 yang lalu, dua orang Anggota Gandawesi melakukan perjalanan yang menarik bersama seorang Anggota PASKA-91. Catatan mereka sangat menarik. Cerita dibagi ke dalam dua bagian mengingat keterbatasan ruang tulis. Inilah catatan perjalanan yang sangat menarik! Selamat membaca!

Persiapan Perjalanan
            Bermula dari rasa ingin tahu serta lebih mengenal karakteristik gunung yang ada di Indonesia, kami (Zamzam dan Siddiq) merencanakan untuk pergi ke sana bersama Otonk (mahasiswa UGM). walaupun sebenarnya rencana perjalanan ini sangat mendesak namun tidak menyurutkan tekad kami untuk melaksanakan perjalanan menggapai Gunung legenda di pulau Jawa.
Perjalanan dimulai dari kampus UPI, kami melakukan perjalanan  berdua seperti bisa dimulai dari terminal Cicaheum menuju Jogjakarta tepatnya menjemput Rian / Otonk yang sudah menunggu di Yogyakarta, Perbekalan yang dibawa menuju Yogyakarta sangat minim, hanya pakaian, kompor, dan gas. Untuk perbekalan yang lainnya akan dilengkapi di Yogyakarta.
Sampai di terminal Cicaheum pukul 17.00. di sana kami membeli tiket bis lalu menunggu untuk berangkat. Setelah  lama menunggu akhirnya bis pun berangkat pukul 19.30, dalam bis tak banyak yang kami lakukan, disana kami hanya sms-an dengan Otonk dan genk-genk di GW selebihnya waktu digunakan untuk tidur. pukul 04.00 sabtu pagi kami sampai di terminal Yogya. Karena kami baru ke sana, jadi kami hanya bisa menunggu datangnya otonk untuk menjemput diruang tinggu. Disana kami harus menunggu lebih dari 3 jam lamanya karena angkutan kota (kopaja) mulai beroperasi pukul 07.00. Setelah jam diterminal menunjukan pukul 07.15 orang yang ditunggu kamipun datang, tanpa banyak ngobrol ini itu kami bertiga pun langsung pergi menuju base camp otonk. Setelah semalaman saya dan siddiq kurang tidur, tentunya merasa sangatlah kelelahan, begitupun dengan Otonk yang malamnya diganggu oleh sms-sms dari kami. Sesampainya di disana kami hanya mandi lalu istirahat tidur-tiduran, sambil istirahat disana kami disuguhi film tentang pendakian puncak everest yang dilakukan oleh anaknya Edmund Hillary  dan seorang penduduk Nepal (sherpa), semangat kami untuk melakukan pendakian pun semakin kuat saja.
Di basecamp Otonk kami ditinggal berdua, sebab Otonk sibuk mencari tenda yang belum ada, dia mengira tenda akan kami bawa dari perkumpulan pelajar pencinta alam SMAN 1 Tarogong kidul Garut/organisasi yang diikuti oleh Otonk (PASKA 91) ataupun dari Gandawesi, makanya dia tenang-tenang saja sampai ketika kami memberi tahu bahwa kami tidak membawa tenda. Kamipun sempat merasa kasihan pada otonk yang sibuk kesana kemari untuk meminjam tenda. Siang hari Otonk pun pulang dengan hanya membawa berita, tanpa tenda. Sebenarnya dia mengatakan ada tenda, namun tenda tersebut bisa dipakai kami hanya untuk dua hari saja, dan kamipun memutuskan untuk pergi ke gunung Merbabu dulu, sambil menunggu Uloh (teman yang akan melakukan pendakian bersama kami) karena informasinya dia akan menyusul kami ke Yogya hari selasa. Setelah beberapa jam ketika akhirnya ada teman otonk yang bisa meminjamkan tendanya tidak hanya untuk dua hari, tapi bebas untuk beberapa hari kedepan, maka rencana untuk pergi ke gunung Merbabu pun akhirnya dibatalkan, dan kamipun akhirnya memutuskan untuk pergi ke gunung Argopuro dan Semeru bertiga saja tanpa harus menunggu Uloh dan temannya.
Sekitar pukul 14.00 kami bertiga belanja logistic untuk perjalanan menuju Argopuro dimarket sekitar kampus UGM. Setelah semua kebutuhan logistic terbeli kamipun langsung pulang untuk mempacking perbekalan, dan mengejar waktu ke terminal.

Sekilas Gunung Agropuro
            Seperti biasa sebelum melakukan pendakian, sambil santai dalam bis kami membaca-baca literatur tentang Gunung Argopuro, hal ini dilakukan agar memudahkan kami untuk melakukan interaksi baik dengan kondisi gunung maupun sosial. dari data yang kami baca didapat bahwa Gunung Argopuro memiliki banyak puncak, beberapa puncaknya mempunyai struktur geologi tua dan sebagian yang lainnya lebih muda. Puncak Argopuro berada pada ketinggian 3.088 m dari permukaan laut.
            Untuk mendakinya ada beberapa jalur, antara lain lewat Baderan Besuki atau lewat desa Bremi, Kab. Probolinggo. Tetapi dianjurkan lewat desa Bremi saja  karena lebih cepat.Untuk mencapai desa Bremi sangat mudah karena ada bis umum yang menuju desa ini dua kali sehari dari Terminal Bis Probolinggo, Jam 06.00 pagi dan jam 12.00 siang Sebaiknya para pendaki bermalam di desa ini. Di desa Bremi terdapat penginapan yang cukup murah dan sederhana. Penginapan ini rupanya bekas peninggalan zaman Belanda dan memiliki ciri tersendiri. Disamping itu kanan kiri penginapan ini memiliki pemandangan yang asli dan alami. Sebelum mendaki kita harus melapor pada polisi atau petugas PHPA setempat untuk meminta ijin pendakian.
            Esok harinva setelah benjalan 3 jam rnelalui perkebunan damar dan hutan tropis kita sampai di Danau Taman Hidup yang airnya dapat Dipergunakan untuk minum maupun memasak. Kita dapat mendirikan tenda dan bermalam di sekitar danau. maupun dekat sungai yang letaknya agak atas. Danau Taman Hidup teramat unik dengan kehijauan hutan tropis yang rimbun, dipadu dengan beraneka ragaman ikan yang melimpah. sangat mudah dipancing bahkan ditangkap dengan tangan.
            Pagi harinva, kita dapat meneruskan pendakian ke puncak dengan mengitari sepanuh danau kearah kiri, dengan menempuh perjalanan sekitar 6 jam. Puncak Argopuro disebut Puncak Dewi Renganis . karena disana terdapat patung Dewi Renganis. Puncak Dewi Renganis ini merupakan bekas kawah belerang.
            Turun dari Puncak Argopuro kita dapat memilih turun dengan rnengitari gunung lewat Alun-alun Besar kemudian menuju Besuki lewat Baderan. Alternatif lainnya yakni kembali lewat jalan semula yaitu Bremi. Alun-alun Besar adalah hamparan padang rumput yang luas, dan pernah direncanakan sebagai landasan pesawat terbang militer pada saat tentara pendudukan Jepang.
            Gunung Argopuro jarang didaki, hanya pada waktu~waktu tertentu saja, saat liburan sekolah atau musim kemarau. Gunung Argopuro sesungguhnya merupakan gunung yang menarik, karena selain pemandangannya yang indah, gunung ini juga dikenal memiliki banyak peninggalan bersejarah dari jaman kerajaan sampai masa pendudukan Jepang. Hutan di kawasan G. Argopuro merupakan hutan yang masih asli. Binatang­-binatang liar masih banyak kita jumpai di daerah ini, seperti kijang, monyet, babi hutan, burung merak, ular, dan lainnya.
Perjalanan ke Gunung Argopuro

Pulang dari berbelanja kami bertiga istirahat dan mandi bergiliran sambil mempacking perbekalan. Setelah semuanya beres kami shalat ashar, berdo'a meminta keselamatan bersama, dan langsung pergi meninggalkan kostannya otonk menuju terminal jogjakarta. Di terminal kami istirahat, sahalat magrib sambil menunggu keberangkatan bis, bis yang kami pakai adalah bis jurusan Jogja-Banyuwangi yang melewati terminal  Probilinggo, karena rencana kami akan melakukan perjalanan menuju gungung argopuro melewati jalur bremi, yang pastinya harus ke terminal Probolinggo. Bis berangkat sekitar pukul 19.30. selama diperjalanan tak banyak yang kami lakukan, hanya ngobrol dan tidur, bahkan ketika bis istirahat untuk makan pun kami tidak makan (untuk mengirit uang), tapi selama diperjalanan kami ngemil makanan ringan yang tadi siang kami beli.
Argopuro
Waktu di jam tangan Otonk menunjukan pukul 03.30 ketika kami bertiga turun dari bis di Terminal Probolinggo, dan kami pun langsung mencari warung nasi, untuk mengisi perut yang sudah berbunyi dari tadi malam. Kami sempat kesusahan mencarinya namun akhirnya ada pecel lele madura, dan kamipun langsung menyerbunya, setelah makan yang kami lakukan hanyalah tidur-tiduran menunggu datangnya pagi.
Pagi sekitar jam 06.30 kami naik bus menuju pertigaan Pajarakan. Sampai di pertigaan Pajarakan kami langsung naik mobil angkutan seperti angkot yang orang sana biasa menyebutnya taksi. Dalam perjalanan menuju bremi ini di kiri kanan kami melihat banyak perkebunan mangga dan perkampungan-perkampungan dengan suasana islami yang kental, tak ketinggalan setelah tiga perempat perjalanan kami melihat gunung lamongan tampak indah dengan warna putih pasirnya, banyak orang menyebut gunung ini sebagai miniatur gunung semeru. Setelah bebrapa lama diperjalanan akhirnya sekitar pukul 09.00 kami sampai di Bremi, yang merupakan pos pertama kami menuju puncak Gunung Argopuro. Bremi adalah sebuah dusun di kaki gunung, di sana terdapat polsek Krucil yang dipakai sebagai tempat pendataan bagi orang yang naik gunung Argopuro lewat jalur Bremi. Kami pun mentaati adat setempat yaitu melapor dan memita izin untuk naik gunung argopuro di polsek Krucil.
Proses pendataan dan perizinannya mudah saja, kami diintruksikan hanya menuliskan data pribadi dan kelompok saja. Setelah melapor dan diberi izin oleh petugas disana untuk melanjutkan perjalanan, kamipun makan pagi di warung sekitar polsek untuk mengisi perut sebelum perjalanan dimulai. Sekitar pukul 10.00 kami menyiapkan diri, berdo'a dan langsung berangkat.
Diawal-awal perjalanan kami sempat bingung jalan mana yang harus dilalui karena jalan yang lebih dari satu dan informasi dari warga yang berbeda-beda, tapi akhirnya kami memilih jalan yang agak jauh namun tidak terlalu curam. Tempat yang menjadi tujuan  pertama kami adalah Danau Taman Hidup dibalik bukit. Dalam proses perjalanan menuju Danau Taman Hidup ini, selama kurang lebih satu jam kami melalui perkebunan kopi warga, selepas perkebunan kopi, kami mulai memasuki hutan damar yang mempunyai lintasan setapak bercabang-cabang akibat aktivitas penduduk sekitar dalam mencari kayu. Disekitar hutan saya sempat melihat jeroan binatang yang masih segar, mungkin baru saja ditinggalkan oleh pemangsanya.
Berhasil melewati hutan damar, kami langsung masuk hutan hujan tropis yang masih alami. Di sekitar hutan ini kami sempat takjub juga ketika melihat pohon-pohon besar dengan ukuran diameter sekitar 3 meter-an, dan keanekaragaman hayatinya yang masih alami. Perjalanan hutan ini kami mendaki punggungan-punggungan gunung dengan kemiringan sekitar 45-70 derajat. Ketika perjalanan menuju Danau Taman Hidup ini hampir sampai yaitu sekitar 10 menit lagi, kami sempat salah memilih jalan sampai 15 menit dari cabang jalan tadi. Kejadian ini disadari kami ketika melihat Danau Taman Hidup ini dari sekitar punggungan yang semakin menjauh dan tidak memungkinkan adanya jalan menuju danau itu. Kamipun kembali dan memilih jalan satunya lagi pada percabangan jalan tadi.
Sekitar jam 3  sore kami tiba di Danau Taman Hidup. Danau luas ini merupakan tempat bermalam untuk pertama kalinya bagi pendaki yang memilih jalur Bremi. Suasana yang sunyi  dan hutan tropis yang rimbun serta akar gantung disekitar danau menjadi teman dalam istirahat kami, disana kami mendirikan tenda untuk tempat perlindungan malam pertama kami dalam pendakian ini, Ketika kami masak kami kedatangan sekitar empat orang dari Jakarta dan Surabaya yang sedang melakukan perjalanan pulang dari puncak, mereka memilih jalur Bederan ketika mendaki dan jalur Bremi ketika turun. Namun mereka pun tidak bertahan lama di sana  karena mengejar waktu menuju Bremi. Semakin sore udara di sana semakin dingin, bahkan menurut informasi suhu pagi hari ketika musim kemarau bisa mencapai 3 derajat celcius, sampai rumput disekitar danauyang terkena embun mengkristal.
Pagi-pagi setelah kami terbangun dari tidur, kami melakukan solat dan kegiatan-kegiatan yang dapat menggerakan tubuh untuk memanaskan tubuh dari udara luar yang masih dingin. Setelah kondisi tubuh mulai menghangat dan kabut disekeliling sudah mulai berkurang, kami menuju danau untuk sekedar menikmati suasana dan pemandangan yang tampak asri. Indahnya cerminan gunung yang terlihat dipermukaan danau, suara-suara binatang alami menjadi musik penyegar bagi telinga kami.
Setelah kami puas menikmati suasana disekitar Danau Taman Hidup, kamipun langsung masak, makan, dan mempacking perbekalan untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan perjalanan hari kedua ini adalah Cisentor. Hari kedua ini merupakan pendakian terpanjang yang memerlukan waktu yang cukup lama dan fisik yang kuat karena kombinasi dan panjangnya trek yang harus dilewati. Menu makan pagi pun kami atur dengan menu yang lebih.
Langkah awal perjalanan hari kedua ini yaitu mengitari sisi kiri danau, kawasan yang dilalui masih merupakan hutan cagar alam dan trek yang masih bersahabat. Namun setelah meninggalkan kawasan hutan cagar alam yang ditandai dengan tumbuhan penyengat disisi kiri kanan, medan mulai tidak bersahabat dengan lintasan naik turun pinggiran bukit, apalagi dengan tanah yang kering berdebu semakin menghiasi ketidak bersahabatannya. Untuk menghindari kecelakaan beruntun dan semburan debu dari orang yang berada didepan maka kami harus saling menjaga jarak ketika melaluinya. Ditengah perjalanan kami singgah di sebuah lembah dengan hiasan batu-batu besar dipinggirnya dan sebuah pohon tumbang yang menjadi jembatan untuk melewati sebuah sungai musiman yang sedang kering. Waktu istirahat disana hanya digunakan kami untuk foto-foto, minum dan makan biskuit, karena kami ingin segera sampai di Cisentor.
Ketika gemericik air terdengar pada sisi kiri lintasan, kami mulai merasa lega karena pos Pesingan sudah mulai mendekat dengan kami. Pesingan merupakan daerah datar sempit yang dialiri sungai kecil, ditempat ini kami manfaatkan untuk istirahat makan makanan kecil dan mengambil persediaan air. Setelah merasa cukup istirahat maka kami pun siap untuk melakukan perjalanan selanjutnya. Lintasan dari pos pesingan menuju Cisentor sangan landai yang ditumbuhi pepohonan edelweiss dengan ukuran yang tinggi. Lama perjalanan dari pos pesingan menuju cisentor ini memakan waktu sekitar 30 menit.
Sekitar pukul 3 sore kamipun sampai di pos Cisentor. Cisentor merupakan tempat pertemuan jalur bremi dan jalur bederan yang dipotong oleh sebuah aliran sungai jernih yang cukup deras. Ditempat ini terdapat sebuah gubuk berukuran 3x3 meter yang kami manfaatkan untuk membuat tenda didalamnya. Setelah istirahat sebentar untuk melepas rasa lelah kami langsung bongkar tas dan segera mendirikan tenda serta siap untuk masak.Di camp ini kami banyak melihat ayam hutan dan berbagai macam burung, bahkan ada beberapa ekor yang mendekat kearah camp. Suara deras arus air sungai menambah kebetahan kami untuk tinggal di sini.
Pagi-pagi sekali kami bangun dan bergegas untuk pergi menuju puncak, perbekalan yang kami bawapun tak banyak hanya biskuit, kacang, roko, kopi dan air panasnya saja. Perjalanan dimulai dengan lintasan menanjak namun itu hanya sebentar, seterusnya lintasan yang dilalui landai disertai pohon-pohon edelweiss dan cemara hingga kedaerah Rawa embik. Dalam perjalanan ini kami banyak menemukan bekas jejak kaki babi hutan, bahkan kami memperkirakan jejak itu dilalui oleh ribuan babi yang bercengkrama. Sekitar 1,5 jam perjalanan kami dari cisentor akhirnya kami sampai dipadang luas yang dinamakan Rawa embik. Rawa embik adalah sebuah padang luas yang landai dengan sungai yang mengalir disebelah kanan dengan selada air disekelilingnya. Didaerah ini kami sempat dikejutkan oleh auman kucing hutan beberapa kali, kami sempat terdiam dalam perjalanan hanya untuk mendebatkan tentang suara itu. Namun setelah beberapa kali mengeong akhirnya suara itupun menghilang, dan memusnahkan keterkejutan kami. Kami terus melanjutkan perjalanan tanpa istirahat didaerah sana, selepas padang datar lintasan menembus hutan selama sekitar 1 jam. Sepanjang perjalanan menuju puncak ini kami banyak menemukan ranting-ranting yang dihiasi oleh tempelan-tempelan kristal es, kristal itu adalah embun yang membeku karena suhu yang sangat dingin. Lintasan masih terus landai sampai pada sekitar tinggal sepuluh menit menuju puncak, barulah lintasan mulai menanjak dengan kemringan sekitar 60 derajat. Awalnya kami sempat kebingungan dimana sebenarnya puncak argopuro, karena disana terdapat beberapa puncak dengan ketinggian yang hampir sama. Namun kami terus saja mengikuti jalan setapak yang diluar dugaan belok kekiri dari perkiraan kami, sampai pada tanjakan yang disekelilingnya terdapat bongkahan-bongkahan batu besar maupun kecil di sekelilingnya.
Selepas melewati tanjakan barulah kami sampai di sekitar puncak, tepatnya sedikit dibawah puncak terdapat reruntuhan bekas candi, dengan tanah disekelilingnya adalah batu dan pasir putih. Sekitar lima menit dari tempat candi tadi, dengan lintasan tangga batu, akhirnya sampailah kami dipuncak Argopuro dengan ciri sebuah bongkahan batu mirip kuburan. Di puncak tanah tidak terlalu luas, itu juga terdiri dari batu-batu cadas. Disebelah barat puncak terdapat bekas kawah yang cukup dalam. Sungguh indah pemandangan diatas sana, langit yang cerah dihiasi sedikit gumpalan awan menyebar acak, disebelah utara kelihatan lautan yang membelah pulau jawa dan madura, hamparan dataran luas warna hijau dengan bintik-bintik merah perumahan penduduk terlihat disebelah barat dan timur puncak. Sedangkan disebelah selatan kelihatan komplek pegunungan Agopuro dengan biru rimbanya. Sambil menikmati pemandangan dan merasakan kepuasan diatas, kami membuka perbekalan dan memakannya. Namun sayang rokok yang dibawa cuma sebatang, untunglah otonk bukan perokok jadi saya dan B'jay bergantiang menghisapnya. Tak kami lupakan untuk kenang-kenangan yaitu berfoto ria diatas puncak.   
Setelah merasa puas menikmati segalanya diatas puncak, sekitar pukul setengah delapan kami turun. Dalam perjalanan turun ini diawali dengan melihat-lihat dulu sekeliling bekas candi, ternyata disana terdapat sebuah nisan mengenang seorang pendaki asal Surabaya bernama Prasetyo yang mati dalam pendakian menuju pucak agropuro ini. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan menuruni hutan dengan lintasan yang sama seperti ketika kami naik. Di Rawa embik perjalanan turun kami dihetikan dulu untuk sekedar melihat keadaan sekitar daerah Rawa embik, ternyata disana ada bekas camp. Itupun tidak lama, kami langsung lanjutkan perjalanan turun ini. Pukul sembilan kami sampai di Cisentor tempat semalam kami bermalam, disana kami istirahat, masak dengan menu yang lumayan banyak, dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya, setelah beberapa hari badan tak terkena guyuran air akhirnya kesempatan untuk mandi datang juga ketika di Cisentor ini, oh betapa enaknya mandi di sungai. Kamipun sempat menjemur pakaian yang agak basah dari perjalanan pagi dan kemarin.    
Kegiatan-kegiatan tersebut akhirnya kami kebut, mengejar waktu turun, karena rencananya kami akan turun lewat jalur berbeda dengan ketika mendaki yaitu lewat jalur Bederan tanpa akan bermalam di tengah perjalanan. Selepas waktu dzuhur perbekalan kami sudah beres dipack, dan siap untuk melakukan perjalanan panjang menuruni gunung lewat jalur Bederan. Perjalanan turun gunung ini melalui jalan sebelah kanan jalur kepuncak dari jalur Bremi diawali dengan melintasi sungai tempat kami mandi. Baru  sekitar 20 menit kami dari Cisentor kami bertemu dengan satu rombongan sekitar lima orang, mereka adalah rombongan dari Semarang. Setelah hanya setengah jam kami melewati hutan, medan berubah menjadi padang ilalang landai yang luas diselingi hutan cemara yang tidak terlalu luas di tengahnya. Lintasan seperti ini berlanjut sampai pos Cikasur.  
Setelah berjalan kurang lebih 2 jam tanpa melakukan istirahat yang berarti akhirnya kami sampai juga di sebuah alun-alun raksasa dengan hamparan ilalang yang luas bak pemadani berwarna krem dan dikelilingi oleh bukit-bukit cemara. Di alun-alun ini terdapat bekas landasan pesawat militer pada masa penjajahan jepang serta bekas- bekas bangunannya, juga terdapat sebuah gubuk berukuran kira-kira 2x2 m dekat bekas bangunan tadi. Diujung kawasan Cikasur terdapat sebuah sungai dengan air berwarna hijau yang disepanjang arusnya ditumbuhi selada air. Disana kami hanya melihat-lihat saja tanpa melakukan istirahat yang berarti, dan perjalanan pun terus dilanjutkan. Lintasan masih tetap landai yang dihiasi padang ilalang diselingi pepohonan edelweis yang rimbun yang tinggi, selepasnya lintasan mulai melintasi bukit yang bergantian tanjakan dan turunan. Tempat ini sering disebut sebagai sembilan bukit penyesalan. Selepas sembilan bukit penyesalan kami memasuki pos HM 68 yang merupakan tempat peristirahatan. Namun kami tak melakukan istirahat disana, untuk mengejar waktu yang makin sore. Meninggalkan pos HM 68, lintasan mulai menurun dan landai sampai ke batas vegetasi hutan hujan tropis yang berarti juga memasuki wilayah pos HM 43. HM 43 adalah sebuah area camp yang berada dibawah kungkung hutan hujan tropis yang lebat, disini terdapat sebuah mata air yang terletak di bawah sisi kiri lintasan. Namun kami tak mengambil air dan istirahat disana karena hari yang sudah mulai gelap. Perjalanan diteruskan dengan lintasan masih dalam kungkungan hutan hujan tropis, ditengah perjalanan ini kami mengalami masalah untuk memilih jalan yang bercabang, setelah berpikir akhirnya kami memilih lewat jalur kiri. Kepanikan mulai muncul ketika kami menyadari bahwa tanda menuju HM 17 yang merupakan pos selanjutnya tak kunjung kami temukan, ditambah hari yang makin gelap. Saat itu yang kami lakukan adalah dengan berjalan cepat untuk mengejar waktu, dan kami yakin bahwa jalur ini juga pasti akan berakhir di perkebunan penduduk, karena lintasan diselingi oleh bekas-bekas penebangan kayu yang dilakukan penduduk. Terdengar suara gonggongan anjing menghilangkan rasa panik kami, dan ternyata benar saja kami telah dekat dengan perkebunan penduduk.
Akhirnya sampai juga kami di perkebunan, dengan jarak antar rumah penduduknya yang berjauhan. Disana kami sempat menanyakan pada seorang kakek kemana jalan menuju bederan, tapi karena dia yang tak terlalu mengerti bahasa indonesia dan kami yang tidak mengerti bahasa osing (bahasa orang sana) pertanyaan yang kami ajukan tidak mencapai titik temu, kamipun meneruskan perjalanan menyusuri jalur yang sepertinya biasa dilalui penduduk. Dan ditengah perjalanan kami bertemu dengan dua orang, yang sedang berjalan menuju perkebunan itu, kamipun menanyakan kembali jalan menuju bederan ini. Hati kami makin lega setelah orang yang kami tanya tadi menyuruh kami untuk terus saja meneruskan perjalanan. Setelah lama kami susuri jalan ini akhirnya kami memasuki sebuah pertigaan jalan dengan banyak perumahan serta sebuah warung yang cukup ramai, kamipun masuk kewarung itu untuk istirahat dan makan jajanan sambil minta nasihat untuk melakukan perjalanan selanjutnya. Atas nasihat dari penduduk, kamipun naik ojeg menuju bederan dengan ongkos sepuluh ribu untuk dua kali pengangkutan. Sesampainya di bederan kami langsung menghubungi kepala desa meminta izin untuk bermalam disana dan pas waktu itu di sebuah mushola ada beberapa orang yang sedang melakukan KKN di desa Bederan. Kamipun diberi izin bermalam disana bersama mahasiswa yang sedang KKN tadi. Kami sempat masak, makan dan mandi sebelum tidur. Setelah terlelap tidu semalaman, pagi-pagi sekali kami bangun dan segera mandi serta melaksanakan sholat subuh di mushola tersebut.
Pukul setengah delapan kami bertiga pamitan dan minta do'a keselamatan untuk melanjutkan perjalanan ke Gunung Semeru kepada kepala desa dan mahasiswa yang semalam menemani kami tidur di mushola. Selepas itu kami langsung naik jasa angkutan pedesaan yang orang sana menyebutnya sebagai taksi menuju Besuki. Ditengah perjalanan ini kami sempat berhenti disebuah pasar untuk membeli tembakau, di pasar tersebut banyak sekali transaksi tembakau asli bedera dan daerah sekitarnya.Sampai diterminal Besuki, kami langsung mencari warung nasi untuk mengisi perut yang sudah lapar, dan setelahnya kami menunggu bis jurusan probolinggo untuk melakukan perjalanan selanjutnya yaitu Gunung Semeru.

Sekilas Mengenai Gunung Semeru
            Dari data buku yang kami baca selama perjalanan dalam bis, Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 M dpl (puncak Mahameru). Pada tahun 1913 dan 1946 Kawah Jonggring Saloka memiliki kubah dengan ketinggian 3.744,8 M hingga akhir Nopember 1973. Gunung ini masuk dalam kawasan Taman nasional Bromo Tengger Semeru. Taman Nasional ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Terdapat beberapa gunung di dalam Kaldera Gn.Tengger antara lain; Gn.Bromo (2.392m) Gn. Batok (2.470m) Gn.Kursi (2,581m) Gn.Watangan (2.662m) Gn.Widodaren (2.650m). Terdapat empat buah danau (ranu): Ranu Pani, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo, Ranu Darungan. 
            Diperlukan waktu sekitar empat hari untuk mendaki puncak gunung Semeru pulang- pergi. Sebaiknya membawa bekal untuk satu minggu karena kita akan betah berkemah, bisa jadi karena pemandangan dan suasana yang sangat indah, atau karena kecapaian setelah mendaki gunung semeru. 
            Untuk mendaki gunung semeru dapat ditempuh lewat kota malang atau lumajang. Dari terminal kota malang kita naik angkutan umum menuju desa Tumpang. Disambung lagi dengan Jip atau Truk Sayuran yang banyak terdapat di belakang pasar terminal Tumpang dengan biaya per orang Rp.13.000,- hingga Pos Ranu Pani. Sebelumnya kita mampir di Gubugklakah untuk memperoleh surat ijin, dengan perincian, biaya surat ijin Rp.6.000,- untuk maksimal 10 orang, Karcis masuk taman Rp.2.000,- per orang, Asuransi per orang Rp.2.000,-
            Dengan menggunakan Truk sayuran atau Jip perjalanan dimulai dari Tumpang menuju Ranu Pani desa terakhir di kaki semeru. Di sini terdapat Pos pemeriksaan, terdapat juga warung dan pondok penginapan. Pendaki juga dapat bermalam di Pos penjagaan. Di Pos Ranu Pani juga terdapat dua buah danau yakni danau (ranu) pani (1 ha) dan ranu regulo (0,75 ha). Terletak pada ketinggian 2.200 mdpl.
            Bagi pendaki yang baru pertama kali mungkin akan bingung menemukan jalur pendakian, dan hanya berputar-putar di Ranu Pani, untuk itu setelah sampai di gapura selamat datang, perhatikan terus ke kiri ke arah bukit, jangan mengikuti jalanan yang lebar ke arah kebun penduduk. Selain jalur yang biasa dilewati para pendaki, juga ada jalur pintas yang biasa dipakai para pendaki lokal, jalur ini sangat curam.
            Jalur awal yang kita lalui landai, menyusuri lereng bukit yang didominasi dengan tumbuhan alang-alang. Tidak ada tanda penunjuk arah jalan, tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100m, kita ikuti saja tanda ini. Banyak terdapat pohon tumbang, dan ranting-ranting diatas kepala, sehingga kita harus sering merundukkan kepala, tas keril yang tinggi sangat tidak nyaman. 
            Setelah berjalan sekitar 5 Km menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi Edelweis, kita akan sampai di Watu Rejeng. Kita akan melihat batu terjal yang sangat indah. Kita saksikan pemandangan yang sangat indah ke arah lembah dan bukit-bukit, yang ditumbuhi hutan cemara dan pinus. Kadang kala kita dapat menyaksikan kepulan asap dari puncak semeru. Untuk menuju Ranu Kumbolo kita masih harus menempuh jarak sekitar 4,5 Km. Sebaiknya beristirahat dan mendirikan tenda apabila tiba di Ranu Kumbolo. Terdapat danau dengan air yang bersih dan memiliki pemandangan yang sangat indah terutama di pagi hari kita saksikan matahari terbit disela-sela bukit. Banyak terdapat ikan, kadang burung belibis liar. Ranu Kumbolo berada pada ketinggian 2.400 m dengan luas 14 ha.
            Dari Ranu Kumbolo sebaiknya menyiapkan air sebanyak mungkin. Meninggalkan Ranu Kumbolo kita mendaki bukit terjal, dengan pemandangan yang sangat indah dibelakang ke arah danau. Di depan bukit kita terbentang padang rumput yang luas yang dinamakan oro-oro ombo. Oro-oro ombo dikelilingi bukit dan gunung dengan pemandangan yang sangat indah, padang rumput luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus seperti di Eropa. Dari balik Gn. Kepolo tampak puncak Gn. Semeru menyemburkan asap wedus gembel.
            Selanjutnya kita  memasuki hutan Cemara dimana kadang-kadang kita jumpai burung dan kijang. Banyak terdapat pohon tumbang sehingga kita harus melangkahi atau menaikinya. Daerah ini dinamakan Cemoro Kandang.
            Pos Kalimati berada pada ketinggian 2.700 m, disini kita dapat mendirikan tenda untuk beristirahat dan mempersiapkan fisik. Kemudian meneruskan pendakian pada pagi-pagi sekali pukul 24.00. Pos ini berupa padang rumput luas di tepi hutan cemara, sehingga banyak tersedia ranting untuk membuat api unggun.
            Terdapat mata air Sumber Mani, ke arah barat (kanan) menelusuri pinggiran hutan Kalimati dengan menempuh jarak 1 jam pulang pergi. Di Kalimati dan di Arcopodo banyak terdapat tikus gunung bila kita mendirikan tenda dan ingin tidur sebaiknya menyimpan makanan dalam satu tempat yang aman.
            Untuk menuju Arcopodo kita berbelok ke kiri (Timur) berjalan sekitar 500 meter, kemudian berbelok ke kanan (Selatan) sedikit menuruni padang rumput Kalimati. Arcopodo berjarak 1 jam dari Kalimati melewati hutan cemara yang sangat curam, dengan tanah yang mudah longsor dan berdebu. Dapat juga kita berkemah di Arcopodo, tetapi kondisi tanahnya kurang stabil dan sering longsor. Sebaiknya menggunakan kacamata dan penutup hidung karena banyak abu beterbangan. Arcopodo berada pada ketinggian 2.900m,  Arcopodo adalah wilayah vegetasi terakhir di Gunung Semeru, selebihnya kita akan melewati bukit pasir.
            Dari Arcopodo menuju puncak Semeru diperlukan waktu 3-4 jam, melewati bukit pasir yang sangat curam dan mudah merosot. Semua barang bawaan sebaiknya kita tinggal di Arcopodo atau di Kalimati. Pendakian menuju puncak dilakukan pagi-pagi sekali sekitar pukul 02.00 pagi dari Arcopodo. Badan dalam kondisi segar, dan efektif dalam menggunakan air. Perjalanan pada siang hari medan yang dilalui terasa makin berat selain terasa panas juga pasir akan gembur bila terkena panas. Siang hari angin cendurung ke arah utara menuju puncak membawa gas beracun dari Kawah Jonggring Saloka.
            Di puncak Gunung Mahameru (Semeru) pendaki disarankan untuk tidak menuju kawah Jonggring Saloko,  juga dilarang mendaki dari sisi sebelah selatan, karena adanya gas beracun dan aliran lahar. Suhu dipuncak Mahameru berkisar 4 - 10 derajad Celcius, pada puncak musim kemarau minus 0 derajad Celcius, dan dijumpai kristal-kristal es. Cuaca sering berkabut terutama pada siang, sore dan malam hari. Angin bertiup kencang, pada bulan Desember - Januari sering ada badai.
            Terjadi letusan Wedus Gembel setiap 15-30 menit pada puncak gunung Semeru yang masih aktif. Pada bulan Nopember 1997 Gn.Semeru meletus sebanyak 2990 kali. Siang hari arah angin menuju puncak, untuk itu hindari datang siang hari di puncak, karena gas beracun dan letusan mengarah ke puncak. 
            Letusan berupa asap putih, kelabu sampai hitam dengan tinggi letusan 300-800 meter. Materi yang keluar pada setiap letusan berupa abu, pasir, kerikil, bahkan batu-batu panas menyala yang sangat berbahaya apabila pendaki terlalu dekat. Pada awal tahun 1994 lahar panas mengaliri lereng selatan Gn.Semeru dan meminta beberapa korban jiwa, pemandangan sungai panas yang berkelok- kelok menuju ke laut ini menjadi tontonan yang sangat menarik.
            Pendakian sebaiknya dilakukan pada musim kemarau yaitu bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Sebaiknya tidak mendaki pada musim hujan karena sering terjadi badai dan tanah longsor.
            Secara umum iklim di wilayah gunung Semeru termasuk type iklim B (Schmidt dan Ferguson) dengan curah hujan 927 mm - 5.498 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 136 hari/tahun dan musim hujan jatuh pada bulan Nopember - April. Suhu udara dipuncak Semeru berkisar antara 0 -  4 derajat celcius.
            Flora yang berada di Wilayah Gunung Semeru beraneka ragam jenisnya tetapi banyak didominir oleh pohon cemara, Akasia, Pinus, dan jenis Jamuju. Sedangkan untuk tumbuhan bawah didominir oleh Kirinyuh, Alang - alang, Tembelekan, Harendong dan Edelwiss putin, Edelwiss yang banyak terdapat di lereng-lereng menuju Puncak Semeru. Dan juga ditemukan beberapa jenis anggrek endernik yang hidup di sekitar Semeru Selatan.
            Banyak fauna yang menghuni gunung Semeru antara lain :Macan Kumbang, Budeng, Luwak, Kijang, Kancil, dll. Sedangkan di Ranu Kumbolo terdapat Belibis yang masih hidup liar.
Perjalanan ke Semeru

Rencana selanjutnya setelah kami naik bis jurusan probolinggo dari besaki adalah langsung menuju malang. Dan setelah turun dari bis diterminal probolinggo kami langsung pindah bis ke bis jurusan malang tepatnya terminal Arjosari.
Sampai di terminal Arjosari, kami buru-buru mencari angkot warna putih jurusan terminal tanjungsari-pasar tumpang. Lama perjalanan dari terminal tanjung sari ke pasar tumpang memakan waktu sekitar 45 menit sejauh 18 kilometer. Pasar tumpang merupakan pusat perbelanjaan dan ibukota kecamatan tumpang. Karena logistik sudah habis digunakan untuk pendakian Argopuro ,maka setelah makan di sekitar pasar kami langsung belanja kebutuhan logistik di sana.
Perjalanan dimulai dari tawar menawar ongkos dari pasar tumpang menuju Ranupane, tidak lama tawar menawar itu berlangsung karena mobil jeep yang akan kami pakai ternyata akan menjemput wisatawan Perancis yang turun Gunung. Akhirnya kami bertiga dan dua orang dari Jakarta dibawa juga dengan tarif  Rp 15.000 per orang. Padahal kalau mobil biasanya ongkos tersebut minimal harus Rp 200.000 per mobil. Sebelum menuju Ranupane sekitar lima kilometeran dari pasar tumpang berhenti mobil jeep dulu di dusun jambu, dimana terletak Balai Konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) untuk mengurus perijinan. Sekitar 45 menit lamanya perjalanan dari pasar tumpang menuju Ranupane. Itu juga menggunakan mobil jeep 4WD, maka jika kami melakukan perjalanan dengan kaki menuju Ranupane dari pasar tumpang, bisa dibayangkanlah betapa lelah dan lamanya.
Sampainya di Ranu pane sekitar jam setengah lima sore kami langsung mengurus pendataan pendaki, ini hanya pendataan ulang setelah perizinan di Balai Knservasi TNBTS. Disana kami melihat rombongan wisatawan perancis dan wisatawan domestik yang baru saja turun dengan poter-poter mengiringinya.Setelah semuanya beres, kami langsung bergegas untuk melakukan pendakian ini. Kami memulai perjalanan ini dengan awak lima orang, tiga orang adalah saya, siddiq dan rian sedangkan dua orang lagi asal jakarta yang naik mobil jeep bareng dengan kami dari pasar tumpang tadi.
Pukul 5 sore kami berlima mulai melangkahkan kaki arah kiri pos Ranu pane, dengan lintasan masih jalan yang bisa dilalui mobil, baru sekitar 50 meter dari perjalanan di jalan besar, kami belok kiri menuju jalan setapak. Jalur awal yang kami lalui landai, menyusuri lereng bukit yang didominasi dengan tumbuhan alang-alang. Tidak ada tanda penunjuk arah jalan, tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100m. Biasanya  terdapat banyak pohon tumbang, dan ranting-ranting diatas kepala, tapi karena lintasan ini bekas dipakai oleh jambore jejak petualang tv7 maka lintasan ini bersih dari pohon tumbang dan ranting-ranting diatas kepala. Ditengah perjalanan ada tanah bekas longsoran, tapi itu tidak terlalu menjadi hambatan bagi kami.
Setelah berjalan sekitar 5 Km menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi Edelweis, kita akan sampai di Watu Rejeng. Kita akan melihat batu terjal yang sangat indah. Kita saksikan pemandangan yang sangat indah ke arah lembah dan bukit-bukit, yang ditumbuhi hutan cemara dan pinus. Kadang kala kami  menyaksikan kepulan asap dari puncak semeru.
Sebelum mendapatkan tempat untuk mendirikan tenda sekitar sepuluh menit kami mengitari danau Ranu kumbolo, kelihatan di sebelah kiri kilauan-kilauan air danau dan lampu senter pendaki menyambut kedatangan kami. Jam menunjukan sekitar pukul 19.30 ketika kami sampai di camp Ranukumbolo. Disana kami disambut oleh pendaki-pendaki lain yang duluan datang dan pendaki yang sedang melakukan istirahat dari perjalanan turunnya. Setelah sampai tentunya kami langsung mendirikan tenda, disana kami mendirikan tenda di dalam sebuah gubuk yang sebelumnya sudah dihuni oleh dua tenda lainnya tenda satu adalah rombongan tiga orang dari Jakarta dan satunya lagi dua orang Surabaya yang sudah beberapa hari di sana, orng Surabaya ini katanya tidak akan mendaki namun akan terus tinggal di Ranu kumbolo selama semonggu kedepan. Beberapa saat setelah kami mendirikan tenda di luar gubuk tepatnya di teras ada yang mendirikan tenda, rombongan dua pasang ini katanya baru turun dari puncak tadi siang. kegiatan, istirahat sambil masak, ngopi, merokok, dan kegiatan lainnya. (Bersambung)

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 gandawesi.or.id. Designed by OddThemes