Dusun Gunungtilu adalah salah satu dusun yang berada di desa CIntakarya Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran. Awal mula cerita perjalanan ekspedisi kami ini dimulai dari masa bimbingan PPNIA. Pada masa PPNIA ini anggota yang sedang menjalaninya akan melewati beberapa tahapan yang sudah ditentukan oleh panitia PPNIA, dan tahapan yang telah ditentukan oleh panitia kepada kami adalah dikahiri dengan menjalankan suatu ekspedisi. Beranggotakan Sembilan orang kami memulai tahap terakhir ini.
Pangandaran merupakan salah satu kawasan karst yang yang di Indonesia, pada umumnya daerah pantai merupakan daerah penyebaran karst. Sembilan orang, berarti sembilan pemikiran dengan keinginan yang tentunya berbeda. Kesulitan kami adalah menemukan suatu kegitan yang kami semua bisa nikmati karena ekspedisi ini adalah kegiatan terakhir kami yang dapat kami jalankan secara bersama di masa anggota muda. Pada akhirnya kami menemukan konsep ekspedisi kami, yakni Caving. Singkatnya kami mulai merencanakan ekspedisi di daerah Pangandaran. Tidak ada yang tahu berapa jumlah ataupun daerah titik karst yang bisa dimasuki guanya di Pangandaran pada saat itu.
Ada cerita menarik mengenai dusun ini, hal mistis masih melekat kuat pada diri masyarakat sana. Dimulai dari larangan pergi di sawah padahari tertentu, hingga mereka meyakini bahwa gua adalah tempat bersemayangnya makhluk-makhluk ghaib, yang membuat mereka enggan untuk memasuki gua tersebut. Ini menjadi salah satu hambatan kami pada saat itu, karena keyakinan mereka itu, kami tidak bisa sembarangan masuk ke dalam gua yang sudah kami tentukan sebelumnya. Logika dan budaya harus berjalan beriringan kami rasa. Ada banyak budaya yang bertentangan dengan logika, tapi tulah uniknya budaya. Sekuat apapun logika itu akan mengalahkan keyakinan.
Kisah Excavepetion di Dusun Gunungtilu Pangandaran (Gandawesi) |
Diantar oleh seorang warga lokal yang sekaligus membantu kami dalam perjalanan ini,dia juga pemilik rumah yang kami tinggali saat itu, karena kami menghargai keyakinan dan budaya disana maka kami memutuskan untuk mengikuti saran warga, hendak meminta ijin pada orang yang memang diutus untuk menjaga gua disana (katanya). Dipertemukan dengan seorang nenek, dengan senyumnya beliau menyapa, tidak ada sepatah kata yang disampaikan, beliau hanya menarik masuk, dan menyuguhkan dua gelas air putih. Setelah menunggu, dipertemukan kembali dengan seorang kakek beliau datang dengan membawa gulungan kertas. Dibantu warga lokal dia menjelaskan maksud kedatangan, lalu kakek itu bercerita bahwa dia adalah manusia yang diutus oleh nabi untuk menjaga gua yang ada di desa itu. Menjelaskan dengan Bahasa sunda yang sedikt saya mengerti, beliau menunjukan lembaran yang berisikan tulisan arab dan tulisan sunda, menjelaskan tentang siapa yang ada di dalam gua tersebut, sedikit yang di ingat dari lembaran kertas itu, terdapat gambar bulan dan bintang disertai tulisan aneh yang tidak bisa dimengerti, terdapat pula nama-nama sunan. Setelah menjelaskan dengan panjang lebar beliau sempat mengatakan untuk tidak memasuki gua tersebut, tapi dengan mencoba menjelaskan kembali maksud dan tujuan kami kahirnya beliau mengijinkan dengan menemani kami nanti.
Memasuki Gua
Sebelum memasuki gua kami memulainya dengan berdoa bersama, ditemani dengan perangkat desa, warga local, dan kakek itu kami memasuki gua. Kami mulai memasuki gua tersebut, dan yang kami lihat gua ini dulunya disebut dengan gua kaca, karena terdapat stalactite, dan stalacmite, yang hampir menghiasi pintu gua seperti kaca, namun ketika kami masuk hanya tinggal sedikit bagian yang menempel di rahang gua, sedikit bagian stalactite yang berkilau yang menghiasi gua ini. Memang benar stalactite itu memang indah adanya, warga menyebutnya sebagai “samping kebat kaca” karena stalactite yang memanjang dan berkaliau seperti kaca, kini hanya tersisa sedikit. Semakin kami memasuki daerah gua semakin kami menyadari hal lain, bahwa stalactite yang menghilang itu seperti dihilangkan dengan sengaja, entah apa tujuan nya tapi yang kami lihat hanya sisa bagian stalactite dan stalacmite yang terpotong dengan rapih. Dimulai dari jalur yang bertanah, berkerilill, berair, berbatu, hingga pada akhirnya kami dihadapkan dengan jalur berbatun yag sangat besar yang menghalangi jalan kami, untuk melewatinya kami harus memanjat, melompat, merayap dan memutar arah. Kesadaran kami terbuka kembali bahwa kerusakan di dalam guaini seperti bukan terjdi dengan sendirinya.
Setelah kami mencari tahu mengenai apa yang pernah terjadi dengan gua ini kepada masyarakat sekitar, mereka menjelaskan bahwa dulu ada orang luar yang datang dan mengangkut bebatuan dari dalam gua, setidaknya dengan truk besar mereka mengangkutnya, tidak semua orang tau akan hal ini, karena lokasi mulut gua ini berad di daerah perkebunan warga yang jauh dari pemukiman warga. Mereka tidak menyadari bahwa orang-orang itu memanfaatkan SDA yang ada tanpa bertanggungjawab akan hal negatif yang mereka lakukan. Kerusakan yang mereka timbulkan akan berakibat matinya gua tersebut. Padahal jika gua itu tetap hidup, itu akan menjadi sumber air lain bagi masyarakat sekitar. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman warga akan hal tersebut karena tertutup oleh keyakinan mistis yang kental. Tapi jika hal negatif sudah terjadi seperti itu, lebih baik warga paham akan apa yang mereka punya, bagaimana cara menjaganya, dan seperti apa nantinya.
Excavepedition di Dusun Gunungtilu Pangandaran ditulis oleh Dewi Sunartini
Posting Komentar