BREAKING NEWS

Inspirasi dari 8.848 mdpl

"Kali ini saya benar-benar percaya, bahwa yang ditempa oleh alam, hanya bisa dihentikan oleh Tuhan, bukan oleh manusia, apalagi oleh rasa putus asa.."


Belum selesai rasa bangga kita akan salah satu Anggota Gandawesi yang mencapai Basecamp Annapurna, lagi-lagi saya dibuat bangga akan keberhasilan 2 Srikandi Indonesia yang berhasil menyelesaikan 7 Puncak Dunia, yang dibawakan oleh 2 orang anggota Mahitala - Universitas Parahyangan, pagi tadi pada hari Kamis, 17 Mei 2018.

Ya, mereka memang berasal bukan dari anggota Gandawesi. Apalagi mahasiswi UPI. Mereka mahasiswi, yang berasal dari kampus lain, dan dari MAPALA lain. Lalu dimana letak titik kebanggannya?

Saya sedikit bercerita. Sepanjang perjalanan 8 tahun menjadi seorang anggota Gandawesi, yang juga MAPALA.

Saya rasa semua MAPALA sama. Kami masuk kuliah. Melalui berbagai macam tes. Lalu lulus. Berikutnya kami mengikuti masa orientasi kampus. Memilah milih UKM mana yang akan kami masuki. Jatuhlah pilihan pada UKM Pecinta Alam. Di sana lagi-lagi mengalami orientasi. Bahkan jauh lebih sulit daripada orientasi kampus atau jurusan. Berhari-hari di hutan. Rindu rumah. Rindu keluarga. Rindu makan enak. Rindu tidur nyaman. Lalu kami lulus dan disematkan syal, serta dinyatakan menjadi anggota. Lalu kami menghabiskan masa 'bodoh' kami saat jadi Anggota Muda. Menjadi anak bawang yang harus rela diminta kesana-kemari. Lalu kami lulus, menjadi Anggota Biasa/Penuh. Merasakan mengurus organisasi. Harus menerima kritik dari kanan dan kiri. Jangan tanya kami makan 3x sehari atau tidak, kami mandi atau tidak, kami beli baju baru atau tidak, yg kami pikirkan bagaimana roda organisasi berputar. Di samping itu, kami harus kuat dipandang sebelah mata oleh dosen. Tak jarang beberapa dari kami menerima 'surat-cinta' dari kampus, karena terlalu sering ke sekretariat daripada ke kelas untuk kuliah. Beberapa dari kami-pun pernah merasakan hebatnya menjadi 'multitasker' karena teman sejawat lagi-lagi melupakan bahwa kami manusia, bukan robot yang harus meng-handle pekerjaannya.

Ya, itu semua pernah saya alami. Sehingga buat saya, puncak Everest itu mimpi. Bualan. Lulus saja sudah syukur. Apalagi mengerjakan ekspedisi sebesar itu. Bisa mengumpulkan uang dan pergi ke Rinjani saja sudah merasa hebat. Apalagi pergi ke puncak tertinggi di dunia. Kampus memberi kami uang berkegiatan saja sudah Alhamdulillah. Jangan minta uang sampai ratusan juta bahkan miliaran ke kampus, yg ada mungkin proposal mu dilempar dan kau dianggap gila. Ya, buat saya, itu terlalu mimpi. Terlalu panjang tidurmu, jika bisa sampai ke Everest. Sementara jadi Anggota Biasa, tidurpun banyak pikiran.

Tapi semua itu berubah, semenjak saya mendengarkan press-conference WISSEMU kira-kira 10 bulan yang lalu. Pertanyaan saya bukan bagaimana fisik mereka, atau bagaimana 2 atlet mereka berlatih. Sama sekali bukan. Pertanyaan saya, lebih kepada tim manajemen mereka. Bagaimana mereka mengumpulkan uang? Bagaimana rapat persiapan mereka? Apa dalam rapat masih ada yang bolos dengan alasan mengerjakan tugas? Apakah anggota yang lulus hanya mengkritik tanpa membantu? Berapa biaya yang ditanggung oleh kampus mereka? Bagaimana kuliah mereka? Apakah dosen-dosen tetap memandang sebelah mata atau mendukung mereka? Dan pertanyaan-pertanyaan receh lainnya.

Kenapa receh? Ya, saya baru sadar. Mereka MAPALA. Tentunya punya masalah yang sama. Atlet mereka masih mahasiswa. Ketuanya pun masih mahasiswa. Alumni nya entah berjumlah berapa. Yang jelas, mereka MAPALA. Sama seperti Gandawesi, yang juga MAPALA. Mereka pasti punya masalah, seperti kita. Mereka terikat pada sebuah lembaga. Mereka punya limit masa perkuliahan. Ya, mereka sama. Mahitala sama dengan Gandawesi. Jika Mahitala bisa, mengapa Gandawesi tidak bisa?

Saya mengikuti perkembangan mereka dari media sosial. Tak jarang saya tanya langsung pada anggota Mahitalanya, karena beberapa ada yang kenal dan cukup dekat. Tapi, ketibaan mereka pagi tadi di puncak Everest benar-benar membuka mata saya. Mereka mampu, dan mereka bisa. Entah bagaimana teamwork mereka bekerja, tapi mereka berhasil menorehkan prestasi. Selain karena mereka Srikandi Indonesia pertama yang menuntaskan 7 puncak dunia, mereka juga (mungkin) wanita MAPALA pertama, yang secara organisasi mampu menancapkan bendera di puncak tertinggi dunia.

Saya termasuk anggota yang jarang membandingkan Gandawesi terhadap organisasi lain. Ya buat apa juga sih, pikir saya. Tapi kali ini, saya bangga terhadap Mahitala. Mereka bukan hanya membuat bangga, tapi mereka juga menginspirasi Pecinta Alam khususnya MAPALA di Indonesia. Mulai hari ini juga, saya percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Dengan birokrasi kampus yang berbelit-belit, anggota yang datang dan pergi, belum lagi harus membagi antara akademik dan organisasi. Tapi pasti bisa. Karena sudah ada yang membuktikannya dan bisa. Kali ini saya benar-benar percaya, bahwa yang ditempa oleh alam, hanya bisa dihentikan oleh Tuhan, bukan oleh manusia lagi, apalagi oleh rasa putus asa.

Semoga Gandawesi dan Pecinta Alam diseluruh Negeri punya puncak Everest nya masing-masing. Karena tidak ada yang tidak bisa dikerjakan oleh orang-orang yang dilatih dan dididik oleh alam.



SELAMAT kepada Hilda dan Didi yang telah berhasil menuntaskan rangkaian 7 Puncak Dunia. Terimakasih sudah menginspirasi. Semoga dengan prestasi kalian, dapat merubah orang-orang yang menganggap MAPALA yang katanya hanya sekelompok mahasiswa dengan kemeja lusuh dan tak pernah mandi. Semoga dapat merubah cara pandang dosen-dosen terhadap kami yang katanya kerjaannya hanya main tanpa makna. Dan yang terpenting, semoga prestasi kalian, mengguggah prestasi-prestasi anggota MAPALA lainnya untuk kemajuan Bangsa Indonesia. Ditengah aksi terorisme yang sedang merebak di Negeri ini, terimakasih kalian mampu mengharumkannya kembali.

Ditunggu sharing nya di Gandawesi.













Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 gandawesi.or.id. Designed by OddThemes